Minggu, 30 November 2014

MAKALAH EKOLOGI TUMBUHAN PRODUKSI SERASAH DAN DEKOMPOSISI


MAKALAH 
EKOLOGI TUMBUHAN
PRODUKSI SERASAH DAN DEKOMPOSISI





OLEH :
MUHAMMAD RIZKI SAPUTRA
1201389
BIOLOGI




JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2014




KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, karena kami telah dapat menyelesaikan makalah “Produksi Serasah dan Dekomposisi”. Makalah ini disusun dan dibuat bertujuan agar kita dapat mengetahui proses produksi serasah dan dekomposisi.
Penyusun berharap kepada yang mempergunakan makalah ini, semoga makalah yang disajikan penyusun dapat dipahami dan bermanfaat bagi yang mempergunakannya. Penulis telah berusaha maksimal dalam menyusun makalah ini. Namun, jika masih ditemukan kelemahan dan kekurangan, maka kami sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran dari pada pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.
           
                                                                                                            Penulis



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Produksi serasah merupakan bagian yang penting dalam transfer bahan organik dari vegetasi ke dalam tanah. Unsur hara yang dihasilkan dari proses dekomposisi serasah di dalam tanah sangat penting dalam pertumbuhan berbagai ekosistem (Zamroni, 2008 : 284).
Dekomposisi merupakan proses penting dalam fungsi ekologi. Organisme-organisme yang telah mati mengalami penghancuran menjadi pecahan-pecahan yang lebih kecil, dan akhirnya menjadi partikel-partikel yang lebih kecil lagi (Arisandi, 2002). Dekomposisi serasah adalah salah satu dari tingkatan proses terpenting daur biogeokimia dalam ekosistem hutan (Hardiwinoto, 1994 : 25).
Serasah dapat menciptakan lingkungan mikro setempat berbeda dengan pelepasan nutrisi atau campuran phytotoxic selama pembusukannya, mengurangi erosi lahan dan evapotranspiration (tetapi mungkin juga menahan curah hujan) dan mengurangi temperatur tanah maksimum. Serasah juga dapat bertindak sebagai suatu faktor mekanik, merusakkan atau membunuh semai ketika gugur ke tanah. Disana dapat juga terjadi efek tidak langsung pada serasah daun, sebagai contoh, kelembaban yang lebih tinggi di dalam lapisan serasah dapat menunjang pertumbuhan jamur patogen yang dapat kemudian menyerang semai (Zamroni, 2008 : 287).

1.2  Tujuan
Tujuan dari makalah ini, yaitu :
1.     Untuk mengetahui produksi serasah dan dekomposisi
2.     Untuk mengetahui proses dekomposisi dan daur karbon






BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Produksi Serasah dan Dekomposisi
Sistem produksi dalam ekosistem erat hubungannya dengan daur materi dan aliran energi. Produksi merupakan istilah umum bagi para ekologi yang digunakan untuk proses pemasukan dan penyimpanan energi di dalam ekosistem. Produktivitas dari suatu ekosistem adalah kecepatan cahaya matahari yang diikat oleh vegetasi menjadi produktivitas kotor (gross), sesuai dengan kecepatan fotosintesis (Irwan, 2012 : 37).
Produktivitas adalah laju produksi Biomessa. Jadi berbeda dengan standing crop yang menyatakan jumlah Biomessa dari ekosistem pada saat tertentu. Kajian produktivitas itu merupakan bagian yang penting dalam ekologi, ini meliputi efisiensi dari berbagai bentuk ekosistem dan juga mengenai perbaikan produksi dari ekosistem binaan (Ardhana, 2012 : 303).
Produksi serasah merupakan bagian yang penting dalam transfer bahan organik dari vegetasi ke dalam tanah. Unsur hara yang dihasilkan dari proses dekomposisi serasah di dalam tanah sangat penting dalam pertumbuhan berbagai ekosistem (Zamroni, 2008 : 284).
Dekomposisi merupakan suatu proses yang terjadi pada setiap bahan organik (bahan-bahan hayati yang telah mati). Tanaman yang gugur akan mengalami dekomposisi dengan ciri-ciri daunnya hancur seperti tanah dengan warna coklat kehitaman. Proses dekomposisi secara umum terjadi pada tiga tahapan:  tahap dekomposisi aerobik yang mendominasi seluruh proses, prosesnya sangat pendek hal ini disebabkan karena jumlah oksigen yang terbatas, BOD tinggi hasil sampah darat. Tahap kedua dari proses anerobik terjadi ketika jumlah populasi bakteri methanoigenesis tinggi proses.
Suhu dan kelembaban udara mempengaruhi jatuhkan serasah tumbuhan. Naiknya suhu udara akan menyebabkan menurunnya kelembaban udara sehingga transpirasi akan meningkat, dan untuk menguranginya maka daun harus segera digugurkan (Salisbury, 1992 dalam Zamroni, 2008). Menurut Soeroyo (2003) dalam Zamroni dan  Immy 2008, faktor lain yang mempengaruhi guguran serasah adalah curah hujan.


2.2  Dekomposisi dan Daur Karbon
Dekomposisi berlangsung melalui transformasi energi di dalam dan di antara organisme-organisme. Proses dekomposisi merupakan fungsi yang sangat penting, sebab jika proses ini tidak terjadi, semua makanan akan terikat pada tubuh-tubuh mati, dan dunia ini akan penuh oleh sisa-sisa dan bangkai-bangkai. Penghancuran untuk setiap tumbuhan dan binatang mati tidak sama. Lemak, gula, dan protein dapat segera dibusukkan akan tetapi selulosa, lignin, kayu lama sekali dihancurkannya. Demikian juga chitin, rambut, dan tulang-tulang binatang sangat sukar dihancurkan.
Tahap-tahap dekomposisi adalah sebagai berikut :
1.     Pembentukan butiran-butiran kecil, sisa-sisa oleh aksi secara biologi.
2.     Produksi humus yang relatif cepat serta pelepasan organik-organik yang larut oleh saprotrop-saprotrop.
Dalam proses dekomposisi dihasilkan pula berbagai berbagai zat kimia yang mempunyai dampak positif sebagai perangsang pertumbuhan dan mempunyai dampak negative sebagai penghambat pertumbuhan. Zat yang dihasilkan tersebut disebut dengan hormon lingkungan. Seabagai mikroorganisme mempunyai fungsi di dalam ekosistem selain untuk mengatur keperluan guna kelangsungan kehidupan sendiri adalah juga sebagai :
1.     Mineralisasi bahan-bahan organik yang telah mati.
2.     Menghasilkan makanan untuk organisme lain.
3.     Menghasilkan zat kimia yang disebut dengan hormon lingkungan (Irwan, 2012 :48-49).
Kecepatan pelapukan daun ditentukan oleh warna, sifatnya ketika diremas dan kelenturannya. Warna daun kering coklat, daun tetap lemas bila diremas, bila dikibaskan daun tetap lentur berarti daun tersebut cepat lapuk. Apabila warna daun kering kehitaman, bila diremas pecah dengan sisi-sisi yang tajam dan bila dikibaskan kaku maka daun tersebut lambat lapuk. Kualitas serasah yang beragam akan menentukan tingkat penutupan permukaan tanah oleh serasah. Kualitas serasah berkaitan dengan kecepatan pelapukan serasah (dekomposisi). Semakin lambat lapuk maka keberadaan serasah di permukaan tanah menjadi lebih lama (Yustian, 2010).


Menurut Mason (1977) terdapat 3 tahap proses dekomposisi serasah, yaitu:
1)     Proses pelindian (leaching), yaitu mekanisme hilangnya bahan-bahan yang terdapat pada serasah atau detritus akibat curah hujan atau aliran air.
2)     Penghawaan (weathering), merupakan mekanisme pelapukan oleh faktor-faktor fisik seperti pengikisan oleh angin atau pergerakan molekul air.
3)     Aktivitas biologi yang menghasilkan pecahanpecahan organik oleh makhluk hidup yang melakukan dekomposisi (Fiqa, 2011).
Stevenson (1982) dalam Rahmawaty (2000), menyatakan bahwa proses dekomposisi mempunyai tiga tahapan, yaitu:
1)     fase perombakan bahan organik segar. Proses ini merubah ukuran bahan menjadi lebih kecil.
2)     fase perombakan lanjutan, pada proses ini melibatkan kegiatan enzim mikroorganisme tanah.
Fase perombakan terdiri menjadi beberapa tahapan yaitu:
a.      Tahapan awal, mempunyai ciri-ciri kehilangan secara cepat bahan-bahan yang mudah terdekomposisi sebagai akibat pemanfaatan bahan organik sebagai sumber karbon dan energi oleh mikroorganisme tanah, terutama bakteri. Proses ini menghasilkan sejumlah senyawa sampingan seperti NH3, H2S, CO2, asam organik dan lain-lain.
b.     Tahapan tengah: terbentuk senyawa organik tengahan atau antara (intermediate products dan biomassa baru sel organisme).
c.      Tahapan akhir: dicirikan oleh terjadinya dekomposisi secara berangsur bagian jaringan tanaman atau hewan yang lebih resisten (misal:lignin). Peran fungi dan Actomycetes pada tahapan ini sangat dominan.
3)     fase perombakan dan sintesis ulang senyawa –senyawa organik (humifikasi) yang akan membentuk humus.


Barges dan Raw (1976) dalam Rahmawaty (2000), menyatakan bahwa proses perombakan berawal dari perombakan yang besar oleh makrofauna dengan meremah-remah substansi habitat yang telah mati, sehingga menghasilkan  butiran-butiran feases. Butiran tersebut akan dimakan oleh mesofauna sperti cacing tanah dan sama dengan hasil akhir butiran-butiran feases. Materi terakhir akan dirombak oleh mikroorganisme khususnya bakteri dan jamur. Mekanisme dekomposisi serasah daun oleh organisme dan mikroorganisme yaitu jamur dan bakteri yang memiliki peranan penting dalam proses dekomposisi. Dekomposer seperti jamur dan bakteri akan memanfaatkan bahan organik dalam bentuk terlarut. Kelembaban rendah peran jamur dalam mendekomposisi lebih dominan daripada bakteri, sehingga serasah yang mengalami dekomposisi akan berubah menjadi humus dan akhirnya menjadi tanah.
Proses dekomposisi serasah antara lain dipengaruhi oleh kualitas (sifat fisika dan kimia) serasah tersebut dan beberapa faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang terdiri dari organisme dalam tanah, curah hujan, suhu dan kelembaban tempat dekomposisi berlangsung. Faktor penting yang berpengaruh terhadap proses dekomposisi suatu bahan atau serasah adalah kualitas (sifat fisika dan kimia). Tingkat kekerasan daun dan beberapa sifat kimia seperti kandungan awal (initial content) lignin, selulosa, dan karbohidrat berpengaruh terhadap tingkat dekomposisi serasah daun  (Hardiwinoto, 1994).
Osono dan takeda (2006), menambahkan bahwa kecepatan dekomposisi serasah daun dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah:
1)     Tipe serasah
Kandungan senyawa yang terkandung di dalam seresah seperti kandungan lignin, selulosa, dan karbohidratnya. Tipe seresah mempengaruhi kemampuan suatu mikroba untuk mendekomposisi senyawa-senyawa kompleks yang terkandung di dalam seresah, dimana lignin akan lebih susah untuk didekomposisi, selanjutnya selulosa dan gula sederhana adalah senyawa berikutnya yang relatif cepat didekomposisi.

2)     Temperatur
Donelly et al. (1990), kecepatan dekomposisi tertinggi ditunjukan pada suhu 24 ºC. Suhu merupakan parameter fisika yang mempengaruhi sifat fisiologi mikroorganisme yang hidup lingkungan tersebut. Setiap peningkatan suhu sebesar 10oC akan meningkatkan laju metabolisme organisme menjadi dua kali lipat (Nontji et al., 1980). Akan tetapi penambahan suhu maksimal dapat mematikan mikroorganisme pendegradasi seresah.

3)     Pengaruh pH
Aktivitas enzim selulase dipengaruhi oleh pH, dimana aktivitas selulase yang tinggi menurut Kulp (1975), bahwa pH optimum untuk aktivitas selulase kapang berkisar antara 4,5-6,5. Enzim pada umumnya hanya aktif pada kisaran pH yang terbatas. Nilai pH optimum suatu enzim ditandai dengan menurunnya aktivitas pada kedua sisi lainnya dari kurva yang disebabkan oleh turunnya afinitas atau stabilitas enzim. Pengaruh pH pada aktivitas enzim disebabkan oleh terjadinya perubahan tingkat ionisasi pada enzim atau substrat sebagai akibat perubahan pH (Irawadi, 1991).

Tingkat penutupan (tebal tipisnya) lapisan serasah pada permukaan tanah berhubungan erat dengan laju dekomposisinya (pelapukannya). Semakin lebat terdekomposisi maka keberadaannya dipermukaan tanah menjadi lebih lama (Hairiah et al., 2000).
Barbour et al., (1987) mengatakan bahwa laju dekomposisi serasah berbeda antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya. Laju ini terutama dipengaruhi oleh kelembapan udara, organisme flora dan fauna mikro dan kandungan kimia dari serasah.

Daur Karbon
Siklus karbon adalah siklus biogeokimia dimana karbon dipertukarkan antara biosfer, geosfer, hidrosfer, dan atmosfer bumi. Dalam siklus ini terdapat empat reservoir karbon utama yang dihubungkan oleh jalur pertukaran. Reservoir-reservoir tersebut adalah atmosfer, biosfer teresterial (biasanya termasuk pula freshwater system dan material non-hayati organik seperti karbon tanah (soil carbon)), lautan (termasuk karbon anorganik terlarut dan biota laut hayati dan non-hayati), dan sedimen (termasuk bahan bakar fosil).
Pergerakan tahuan karbon, pertukaran karbon antar reservoir, terjadi karena proses-proses kimia, fisika, geologi, dan biologi yang bermaca-macam. Lautan mengadung kolam aktif karbon terbesar dekat permukaan Bumi, namun demikian laut dalam bagian dari kolam ini mengalami pertukaran yang lambat dengan atmosfer.


Tahap-tahapnya terdiri atas :
1)     Karbon di atmosfer berbentuk gas karbondioksida (CO2). Karbondioksida dihasilkan dari berbagai proses pembakaran seperti respirasi makhluk hidup, bahan bakar fosil, erupsi gunung, dan kebakaran hutan.
2)     Karbondioksida di atmosfer diikat (fiksasi) oleh tumbuhan pada saat fotosintesis. CO2 menjadi sumber karbon utama untuk menyusun bahan makanan. Bahan makanan yang dimaksud adalah senyawa karbon organik  yang disebut Glukosa (C6H12O6). Kemudian glukosa disusun menjadi amilum (pati) dan senyawa lain seperti lemak, protein, dan vitamin. Hasil fotosintesis tersebut disimpan di dalam tubuh tumbuhan seperti buah, batang, akar, dan daun. 
3)     Hewan memperoleh kebutuhaan karbon dari tumbuhan melalui rantai makanan. Herbivora memakan tanaman, kemudian karnivora memangsa herbivora, dan seterusnya.
4)     Jasad hewan yang mati maupun urin-fesesnya hancur menjadi detritus. Detritivor memakan detritus untuk memperoleh kebutuhan karbon. Bakteri pengurai menguraikan karbon organik jasad mati menjadi karbon anorganik. Karbon anorganik dikembalikan lagi ke alam.
5)     Karbon anorganik yang terurai dari jasad mati tertimbun terus-menerus di lapisan bumi membentuk bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil digunakan sebagai sumber energi. Aktivitas industri dan kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil menghasilkan CO2 ke udara.
6)     Daur karbon juga terjadi di dalam ekosistem air. Karbon di dalam air diikat oleh tumbuhan dan ganggang. Berbeda dengan di darat, karbon dalam air tersedia dalam bentuk  ion-ion bikarbonat (HCO3-). Ion-ion bikarbonat berasal dari penguraian asam karbonat (H2CO3) yaitu hasil ikatan CO2 dan air (H2O). Tiap-tiap hewan air yang bernafas menghasilkan bikarbonat. Ion-ion bikarbonat ini menjadi bahan baku fotosintesis tumbuhan air dan alga.



BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Produksi serasah merupakan bagian yang penting dalam transfer bahan organik dari vegetasi ke dalam tanah. Unsur hara yang dihasilkan dari proses dekomposisi serasah di dalam tanah sangat penting dalam pertumbuhan berbagai ekosistem.
Dekomposisi merupakan proses penting dalam fungsi ekologi. Organisme-organisme yang telah mati mengalami penghancuran menjadi pecahan-pecahan yang lebih kecil, dan akhirnya menjadi partikel-partikel yang lebih kecil lagi. Dekomposisi serasah adalah salah satu dari tingkatan proses terpenting daur biogeokimia dalam ekosistem hutan.

3.2  Saran
Penulis telah berusaha maksimal dalam menyusun makalah ini. Namun, jika masih ditemukan kelemahan dan kekurangan, maka kami sangat mengharapkan kritikan dan saran- saran dari pada pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.

                                                                                                                                  





DAFTAR PUSTAKA
Arisandi, P. 2002. Dekomposisi Serasah Mangrove. Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah-ECOTON.
Brearley, F., Q. Malcolm C. P. and Julie D. S. 2003. Nutrients Obtained From Leaf Litter Can Improve The Growth Of Dipterocarp Seedling. Phytologist 160: 101-110.

Fiqa, P dan Sofiah. 2011. Pendugaan Laju Dekomposisi Dan Produksi Biomassa Serasah Pada Beberapa Lokasi Di Kebun Raya Purwodadi. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi

Hairiah, Kurniawan, D. S., Widianto, Berlian, Erwin, S., Aris, M., Rudy. H. W., Cahy, P dan Subekti, R. 2003. Alih Guna Lahan Huta menjadi Lahan Agroforestri Berbasis Kopi:Ketebalan Serasah, Popilasi Cacing Tanah dab Makroporositas Tanah. World Agroforestry Center: 68-80.
Hardiwinoto, S. Haryono, S. Fasis, M. Sambas, S. 1994. Pengaruh Sifat Kimia Terhadap Tingkat Dekomposisi. 2(4):25-36.
Rahmawaty. 2000. Keanekaragaman Serangga Tanah dan Perannya pada Komunitas Rhizopora spp. Dan Konitas Ceriops tagal di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara. Tesis Program paska Sarjana. Bogor : IPB. 
Yustian dan donhi. 2010. Prediction of carbon stock in Palembang Pulokerto swampf'orest: the impact of Turban climate change mitigatton. Palembang.


Zamroni, Y. dan Immy, S. R. 2008.  Produksi Serasah Hutan Mangrove di Perairan Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat. Volume 9, Nomor 4 Oktober 2008, Halaman: 284-287.

0 komentar:

Posting Komentar