MAKALAH
EKOLOGI TUMBUHAN
PRODUKSI SERASAH DAN DEKOMPOSISI
OLEH :
MUHAMMAD RIZKI SAPUTRA
1201389
BIOLOGI
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN
ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2014
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, karena
kami telah dapat menyelesaikan makalah “Produksi Serasah dan Dekomposisi”.
Makalah ini disusun dan dibuat bertujuan agar kita dapat mengetahui proses
produksi serasah dan dekomposisi.
Penyusun
berharap kepada yang mempergunakan makalah ini, semoga makalah yang disajikan
penyusun dapat dipahami dan bermanfaat bagi yang mempergunakannya. Penulis telah berusaha maksimal dalam
menyusun makalah ini. Namun, jika masih ditemukan kelemahan dan kekurangan,
maka kami sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran dari pada pembaca untuk
kesempurnaan makalah ini.
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Produksi
serasah merupakan bagian yang penting dalam transfer bahan organik dari
vegetasi ke dalam tanah. Unsur hara yang dihasilkan dari proses dekomposisi
serasah di dalam tanah sangat penting dalam pertumbuhan berbagai ekosistem (Zamroni,
2008 : 284).
Dekomposisi
merupakan proses penting dalam fungsi ekologi. Organisme-organisme yang telah
mati mengalami penghancuran menjadi pecahan-pecahan yang lebih kecil, dan
akhirnya menjadi partikel-partikel yang lebih kecil lagi (Arisandi, 2002).
Dekomposisi serasah adalah salah satu dari tingkatan proses terpenting daur
biogeokimia dalam ekosistem hutan (Hardiwinoto, 1994 : 25).
Serasah
dapat menciptakan lingkungan mikro setempat berbeda dengan pelepasan nutrisi
atau campuran phytotoxic selama pembusukannya, mengurangi erosi lahan
dan evapotranspiration (tetapi mungkin juga menahan curah hujan) dan mengurangi
temperatur tanah maksimum. Serasah juga dapat bertindak sebagai suatu faktor
mekanik, merusakkan atau membunuh semai ketika gugur ke tanah. Disana dapat
juga terjadi efek tidak langsung pada serasah daun, sebagai contoh, kelembaban
yang lebih tinggi di dalam lapisan serasah dapat menunjang pertumbuhan jamur
patogen yang dapat kemudian menyerang semai (Zamroni, 2008 : 287).
1.2 Tujuan
Tujuan
dari makalah ini, yaitu :
1.
Untuk mengetahui produksi serasah dan
dekomposisi
2.
Untuk mengetahui proses dekomposisi dan
daur karbon
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Produksi Serasah dan Dekomposisi
Sistem
produksi dalam ekosistem erat hubungannya dengan daur materi dan aliran energi.
Produksi merupakan istilah umum bagi para ekologi yang digunakan untuk proses
pemasukan dan penyimpanan energi di dalam ekosistem. Produktivitas dari suatu
ekosistem adalah kecepatan cahaya matahari yang diikat oleh vegetasi menjadi
produktivitas kotor (gross), sesuai dengan kecepatan fotosintesis (Irwan, 2012
: 37).
Produktivitas
adalah laju produksi Biomessa. Jadi berbeda dengan standing crop yang
menyatakan jumlah Biomessa dari ekosistem pada saat tertentu. Kajian
produktivitas itu merupakan bagian yang penting dalam ekologi, ini meliputi
efisiensi dari berbagai bentuk ekosistem dan juga mengenai perbaikan produksi
dari ekosistem binaan (Ardhana, 2012 : 303).
Produksi
serasah merupakan bagian yang penting dalam transfer bahan organik dari
vegetasi ke dalam tanah. Unsur hara yang dihasilkan dari proses dekomposisi
serasah di dalam tanah sangat penting dalam pertumbuhan berbagai ekosistem (Zamroni,
2008 : 284).
Dekomposisi merupakan suatu proses
yang terjadi pada setiap bahan organik (bahan-bahan hayati yang telah mati).
Tanaman yang gugur akan mengalami dekomposisi dengan ciri-ciri daunnya hancur
seperti tanah dengan warna coklat kehitaman. Proses dekomposisi secara umum
terjadi pada tiga tahapan: tahap dekomposisi aerobik yang mendominasi
seluruh proses, prosesnya sangat pendek hal ini disebabkan karena jumlah
oksigen yang terbatas, BOD tinggi hasil sampah darat. Tahap kedua dari proses
anerobik terjadi ketika jumlah populasi bakteri methanoigenesis tinggi proses.
Suhu dan
kelembaban udara mempengaruhi jatuhkan serasah tumbuhan. Naiknya suhu udara
akan menyebabkan menurunnya kelembaban udara sehingga transpirasi akan meningkat,
dan untuk menguranginya maka daun harus segera digugurkan (Salisbury, 1992 dalam
Zamroni, 2008). Menurut Soeroyo (2003) dalam Zamroni dan Immy
2008, faktor lain yang mempengaruhi guguran serasah adalah curah hujan.
2.2 Dekomposisi dan Daur Karbon
Dekomposisi
berlangsung melalui transformasi energi di dalam dan di antara
organisme-organisme. Proses dekomposisi merupakan fungsi yang sangat penting,
sebab jika proses ini tidak terjadi, semua makanan akan terikat pada
tubuh-tubuh mati, dan dunia ini akan penuh oleh sisa-sisa dan bangkai-bangkai.
Penghancuran untuk setiap tumbuhan dan binatang mati tidak sama. Lemak, gula,
dan protein dapat segera dibusukkan akan tetapi selulosa, lignin, kayu lama
sekali dihancurkannya. Demikian juga chitin, rambut, dan tulang-tulang binatang
sangat sukar dihancurkan.
Tahap-tahap
dekomposisi adalah sebagai berikut :
1.
Pembentukan butiran-butiran kecil,
sisa-sisa oleh aksi secara biologi.
2.
Produksi humus yang relatif cepat serta
pelepasan organik-organik yang larut oleh saprotrop-saprotrop.
Dalam proses dekomposisi dihasilkan pula berbagai
berbagai zat kimia yang mempunyai dampak positif sebagai perangsang pertumbuhan
dan mempunyai dampak negative sebagai penghambat pertumbuhan. Zat yang
dihasilkan tersebut disebut dengan hormon lingkungan. Seabagai mikroorganisme
mempunyai fungsi di dalam ekosistem selain untuk mengatur keperluan guna
kelangsungan kehidupan sendiri adalah juga sebagai :
1. Mineralisasi
bahan-bahan organik yang telah mati.
2. Menghasilkan
makanan untuk organisme lain.
3. Menghasilkan
zat kimia yang disebut dengan hormon lingkungan (Irwan, 2012 :48-49).
Kecepatan pelapukan daun ditentukan oleh warna,
sifatnya ketika diremas dan kelenturannya. Warna daun kering coklat, daun tetap
lemas bila diremas, bila dikibaskan daun tetap lentur berarti daun tersebut
cepat lapuk. Apabila warna daun kering kehitaman, bila diremas pecah dengan
sisi-sisi yang tajam dan bila dikibaskan kaku maka daun tersebut lambat lapuk.
Kualitas serasah yang beragam akan menentukan tingkat penutupan permukaan tanah
oleh serasah. Kualitas serasah berkaitan dengan kecepatan pelapukan serasah
(dekomposisi). Semakin lambat lapuk maka keberadaan serasah di permukaan tanah
menjadi lebih lama (Yustian, 2010).
Menurut Mason (1977)
terdapat 3 tahap proses dekomposisi serasah, yaitu:
1) Proses pelindian (leaching),
yaitu mekanisme hilangnya bahan-bahan yang terdapat pada serasah atau
detritus akibat curah hujan atau aliran air.
2) Penghawaan (weathering),
merupakan mekanisme pelapukan oleh faktor-faktor fisik seperti pengikisan oleh
angin atau pergerakan molekul air.
3) Aktivitas biologi yang
menghasilkan pecahanpecahan organik oleh makhluk hidup yang melakukan
dekomposisi (Fiqa,
2011).
Stevenson
(1982) dalam Rahmawaty (2000), menyatakan bahwa proses dekomposisi mempunyai
tiga tahapan, yaitu:
1) fase perombakan bahan organik segar.
Proses ini merubah ukuran bahan menjadi lebih kecil.
2) fase perombakan lanjutan, pada
proses ini melibatkan kegiatan enzim mikroorganisme tanah.
Fase perombakan terdiri menjadi
beberapa tahapan yaitu:
a. Tahapan awal, mempunyai ciri-ciri
kehilangan secara cepat bahan-bahan yang mudah terdekomposisi sebagai akibat
pemanfaatan bahan organik sebagai sumber karbon dan energi oleh mikroorganisme
tanah, terutama bakteri. Proses ini menghasilkan sejumlah senyawa sampingan
seperti NH3, H2S, CO2, asam organik dan
lain-lain.
b. Tahapan tengah: terbentuk senyawa
organik tengahan atau antara (intermediate products dan biomassa baru
sel organisme).
c. Tahapan akhir: dicirikan oleh
terjadinya dekomposisi secara berangsur bagian jaringan tanaman atau hewan yang
lebih resisten (misal:lignin). Peran fungi dan Actomycetes pada tahapan ini
sangat dominan.
3) fase perombakan dan sintesis ulang
senyawa –senyawa organik (humifikasi) yang akan membentuk humus.
Barges dan
Raw (1976) dalam Rahmawaty (2000), menyatakan bahwa proses perombakan
berawal dari perombakan yang besar oleh makrofauna dengan meremah-remah
substansi habitat yang telah mati, sehingga menghasilkan butiran-butiran
feases. Butiran tersebut akan dimakan oleh mesofauna sperti cacing tanah dan
sama dengan hasil akhir butiran-butiran feases. Materi terakhir akan dirombak
oleh mikroorganisme khususnya bakteri dan jamur. Mekanisme dekomposisi serasah
daun oleh organisme dan mikroorganisme yaitu jamur dan bakteri yang memiliki
peranan penting dalam proses dekomposisi. Dekomposer seperti jamur dan bakteri
akan memanfaatkan bahan organik dalam bentuk terlarut. Kelembaban rendah peran
jamur dalam mendekomposisi lebih dominan daripada bakteri, sehingga serasah
yang mengalami dekomposisi akan berubah menjadi humus dan akhirnya menjadi
tanah.
Proses
dekomposisi serasah antara lain dipengaruhi oleh kualitas (sifat fisika dan
kimia) serasah tersebut dan beberapa faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang
terdiri dari organisme dalam tanah, curah hujan, suhu dan kelembaban tempat
dekomposisi berlangsung. Faktor penting yang berpengaruh terhadap proses
dekomposisi suatu bahan atau serasah adalah kualitas (sifat fisika dan kimia).
Tingkat kekerasan daun dan beberapa sifat kimia seperti kandungan awal (initial
content) lignin, selulosa, dan karbohidrat berpengaruh terhadap tingkat
dekomposisi serasah daun (Hardiwinoto, 1994).
Osono dan
takeda (2006), menambahkan bahwa kecepatan dekomposisi serasah daun dipengaruhi
oleh beberapa faktor, diantaranya adalah:
1)
Tipe
serasah
Kandungan senyawa yang terkandung di
dalam seresah seperti kandungan lignin, selulosa, dan karbohidratnya. Tipe
seresah mempengaruhi kemampuan suatu mikroba untuk mendekomposisi
senyawa-senyawa kompleks yang terkandung di dalam seresah, dimana lignin akan
lebih susah untuk didekomposisi, selanjutnya selulosa dan gula sederhana adalah
senyawa berikutnya yang relatif cepat didekomposisi.
2) Temperatur
Donelly et al. (1990), kecepatan dekomposisi tertinggi ditunjukan pada suhu
24 ºC. Suhu merupakan parameter fisika yang mempengaruhi sifat fisiologi
mikroorganisme yang hidup lingkungan tersebut. Setiap peningkatan suhu sebesar
10oC akan meningkatkan laju metabolisme organisme menjadi dua kali
lipat (Nontji et al., 1980). Akan tetapi penambahan suhu maksimal dapat
mematikan mikroorganisme pendegradasi seresah.
3) Pengaruh pH
Aktivitas enzim selulase dipengaruhi
oleh pH, dimana aktivitas selulase yang tinggi menurut Kulp (1975), bahwa pH
optimum untuk aktivitas selulase kapang berkisar antara 4,5-6,5. Enzim pada
umumnya hanya aktif pada kisaran pH yang terbatas. Nilai pH optimum suatu enzim
ditandai dengan menurunnya aktivitas pada kedua sisi lainnya dari kurva yang
disebabkan oleh turunnya afinitas atau stabilitas enzim. Pengaruh pH pada
aktivitas enzim disebabkan oleh terjadinya perubahan tingkat ionisasi pada
enzim atau substrat sebagai akibat perubahan pH (Irawadi, 1991).
Tingkat
penutupan (tebal tipisnya) lapisan serasah pada permukaan tanah berhubungan
erat dengan laju dekomposisinya (pelapukannya). Semakin lebat terdekomposisi
maka keberadaannya dipermukaan tanah menjadi lebih lama (Hairiah et al., 2000).
Barbour et al., (1987) mengatakan bahwa laju
dekomposisi serasah berbeda antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya.
Laju ini terutama dipengaruhi oleh kelembapan udara, organisme flora dan fauna
mikro dan kandungan kimia dari serasah.
Daur
Karbon
Siklus karbon
adalah siklus biogeokimia dimana karbon
dipertukarkan antara biosfer,
geosfer,
hidrosfer,
dan atmosfer
bumi. Dalam siklus ini terdapat empat reservoir karbon utama yang dihubungkan
oleh jalur pertukaran. Reservoir-reservoir tersebut adalah atmosfer, biosfer
teresterial (biasanya termasuk pula freshwater system dan material non-hayati
organik seperti karbon tanah (soil carbon)), lautan
(termasuk karbon anorganik
terlarut dan biota laut hayati dan non-hayati), dan sedimen
(termasuk bahan bakar fosil).
Pergerakan tahuan karbon, pertukaran karbon antar
reservoir, terjadi karena proses-proses kimia, fisika, geologi, dan biologi
yang bermaca-macam. Lautan mengadung kolam aktif karbon terbesar dekat
permukaan Bumi, namun demikian laut
dalam bagian dari kolam ini mengalami pertukaran yang
lambat dengan atmosfer.
Tahap-tahapnya
terdiri atas :
1) Karbon di atmosfer berbentuk gas
karbondioksida (CO2). Karbondioksida dihasilkan dari berbagai proses
pembakaran seperti respirasi makhluk hidup, bahan bakar fosil, erupsi gunung,
dan kebakaran hutan.
2) Karbondioksida di atmosfer diikat
(fiksasi) oleh tumbuhan pada saat fotosintesis. CO2 menjadi sumber
karbon utama untuk menyusun bahan makanan. Bahan makanan yang dimaksud adalah
senyawa karbon organik yang disebut Glukosa (C6H12O6).
Kemudian glukosa disusun menjadi amilum (pati) dan senyawa lain seperti lemak,
protein, dan vitamin. Hasil fotosintesis tersebut disimpan di dalam tubuh
tumbuhan seperti buah, batang, akar, dan daun.
3) Hewan memperoleh kebutuhaan karbon
dari tumbuhan melalui rantai makanan. Herbivora memakan tanaman, kemudian
karnivora memangsa herbivora, dan seterusnya.
4) Jasad hewan yang mati maupun urin-fesesnya
hancur menjadi detritus. Detritivor memakan detritus untuk memperoleh kebutuhan
karbon. Bakteri pengurai menguraikan karbon organik jasad mati menjadi karbon
anorganik. Karbon anorganik dikembalikan lagi ke alam.
5) Karbon anorganik yang terurai dari
jasad mati tertimbun terus-menerus di lapisan bumi membentuk bahan bakar fosil.
Bahan bakar fosil digunakan sebagai sumber energi. Aktivitas industri dan
kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil menghasilkan CO2
ke udara.
6) Daur karbon juga terjadi di dalam
ekosistem air. Karbon di dalam air diikat oleh tumbuhan dan ganggang. Berbeda
dengan di darat, karbon dalam air tersedia dalam bentuk ion-ion
bikarbonat (HCO3-). Ion-ion bikarbonat berasal dari penguraian asam
karbonat (H2CO3) yaitu hasil ikatan CO2 dan
air (H2O). Tiap-tiap hewan air yang bernafas menghasilkan
bikarbonat. Ion-ion bikarbonat ini menjadi bahan baku fotosintesis tumbuhan air
dan alga.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Produksi
serasah merupakan bagian yang penting dalam transfer bahan organik dari
vegetasi ke dalam tanah. Unsur hara yang dihasilkan dari proses dekomposisi
serasah di dalam tanah sangat penting dalam pertumbuhan berbagai ekosistem.
Dekomposisi
merupakan proses penting dalam fungsi ekologi. Organisme-organisme yang telah
mati mengalami penghancuran menjadi pecahan-pecahan yang lebih kecil, dan
akhirnya menjadi partikel-partikel yang lebih kecil lagi. Dekomposisi serasah
adalah salah satu dari tingkatan proses terpenting daur biogeokimia dalam
ekosistem hutan.
3.2 Saran
Penulis telah berusaha maksimal dalam menyusun
makalah ini. Namun, jika masih ditemukan kelemahan dan kekurangan, maka kami
sangat mengharapkan kritikan dan saran- saran dari pada pembaca untuk kesempurnaan
makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Arisandi, P. 2002. Dekomposisi
Serasah Mangrove. Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah-ECOTON.
Brearley, F., Q. Malcolm C. P. and Julie D. S. 2003. Nutrients Obtained From Leaf Litter Can
Improve The Growth Of Dipterocarp Seedling. Phytologist 160: 101-110.
Fiqa, P dan Sofiah. 2011. Pendugaan
Laju Dekomposisi Dan Produksi Biomassa Serasah Pada Beberapa Lokasi Di Kebun
Raya Purwodadi. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun
Raya Purwodadi
Hairiah, Kurniawan, D. S., Widianto, Berlian, Erwin, S.,
Aris, M., Rudy. H. W., Cahy, P dan Subekti, R. 2003. Alih Guna Lahan Huta menjadi Lahan Agroforestri Berbasis Kopi:Ketebalan
Serasah, Popilasi Cacing Tanah dab Makroporositas Tanah. World
Agroforestry Center: 68-80.
Hardiwinoto, S. Haryono, S. Fasis, M. Sambas, S. 1994. Pengaruh Sifat Kimia Terhadap Tingkat
Dekomposisi. 2(4):25-36.
Rahmawaty. 2000. Keanekaragaman
Serangga Tanah dan Perannya pada Komunitas Rhizopora spp. Dan Konitas Ceriops
tagal di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara. Tesis
Program paska Sarjana. Bogor : IPB.
Yustian dan donhi. 2010. Prediction of carbon stock in Palembang
Pulokerto swampf'orest: the impact of Turban climate change mitigatton.
Palembang.
Zamroni, Y. dan Immy, S. R. 2008. Produksi Serasah Hutan Mangrove di Perairan Pantai Teluk Sepi, Lombok
Barat. Volume 9, Nomor 4 Oktober 2008, Halaman: 284-287.
0 komentar:
Posting Komentar